Minggu, 07 April 2013

Sejarah Fotografi


Kalau anak kecil minta diajarkan cara menggunakan kamera digital, pasti dalam beberapa menit Anda bisa membuatnya anteng menjeprat-jepret obyek yang dia incar. Tapi bagaimana kalau dia minta diceritakan tentang cara pembuatan kamera digital? Hmm, tulisan ini mungkin bisa membantu Anda.

Dalam buku “The History of Photography” karya Alma Davenport, terbitan University of New Mexico Press tahun 1991, disebutkan bahwa pada abad ke-5 Sebelum Masehi (SM), seorang lelaki berkebangsaan Cina bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala fotografi. Apabila pada dinding ruangan yang gelap terdapat lubang kecil (pinhole), maka di bagian dalam ruang itu pemandangan yang ada di luar akan terefleksikan secara terbalik lewat lubang tadi.

Selang beberapa abad kemudian, banyak ilmuwan menyadari serta mengagumi fenomena pinhole tadi. Bahkan pada abad ke-3 SM, Aristoteles mencoba menjabarkan fenomena pinhole tadi dengan segala ide yang ia miliki, lalu memperkenalkannya kepada kyalayak ramai. Aristoteles merentangkan kulit yang diberi lubang kecil, lalu digelar di atas tanah dan memberinya jarak untuk menangkap bayangan matahari. Dalam eksperimennya itu, cahaya dapat menembus dan memantul di atas tanah sehingga gerhana matahari dapat diamati. Khalayak pun dibuat terperangah.

Selanjutnya, pada abad ke-10 Masehi, seorang ilmuwan muslim asal Irak yang bernama Ibnu Al-Haitham juga menemukan prinsip kerja kamera seperti yang ditemukan Mo Ti. Ia pun mulai meneliti berbagai ragam fenomena cahaya, termasuk sistem penglihatan manusia. Lalu, Haitham bersama muridnya, Kamal ad-Din, untuk pertama kali memperkenalkan fenomena obscura kepada orang-orang di sekelilingnya. Waktu itu, obscura yang ia maksud adalah sebuah ruangan tertutup yang di salah satu sisinya terdapat sebuah lubang kecil sehingga seberkas cahaya dapat masuk dan membuat bayangan dari benda-benda yang ada di depannya. Tak heran, pada abad ke-11 M, orang-orang Arab sudah memakainya sebagai hiburan dengan menjadikan tenda mereka sebagai kamera obscura.

Kemudian kamera obscura mulai diteliti lagi oleh Leonardo da Vinci, seorang pelukis dan ilmuwan, pada akhir abad ke-15. Ia menggambar rincian sistem kerja alat yang menjadi asal muasal kata "kamera" itu dan mulai menyempurnakannya. Pada mulanya kamera ini tidak begitu diminati karena cahaya yang masuk amat sedikit, sehingga bayangan yang terbentuk pun samar-samar. Penggunaan kamera ini baru populer setelah lensa ditemukan pada tahun 1550. Dengan lensa pada kamera ini, maka cahaya yang masuk ke kamera dapat diperbanyak, dan gambar dapat dipusatkan sehingga menjadi lebih sempurna.

Pada tahun 1575, para ilmuwan berhasil membuat kamera portable yang pertama. Tapi kamera buatan yang sangat kuno ini tetap hanya bisa digunakan untuk menggambar. Lalu pada tahun 1680 lahir kamera refleks pertama yang penggunaannya juga masih untuk menggambar, tapi sudah memiliki sedikit kemajuan. Tapi, lantaran bahan baku untuk mengabadikan benda-benda yang berada di depan lensa belum ditemukan, maka kamera ini juga masih dipakai untuk mempermudah proses penggambaran benda. 


Joseph Nicephore Niepce

Sejarah penemuan film baru dimulai pada tahun 1826. Joseph Nicephore Niepce, seorang veteran Perancis, bereksperimen menggunakan kamera obscura dan plat logam yang dilapisi bahan aspal untuk mengabadikan gambar sebuah obyek. Setelah 8 jam mengekspos pemandangan dari jendela kamarnya melalui proses “Heliogravure”, ia berhasil melahirkan sebuah imaji yang agak kabur dan mempertahankan gambar secara permanen. Keberhasilannya itu dianggap sebagai awal dari sejarah fotografi. Gambar yang dibuat oleh Niepce itu diberi judul “View from The Window at Le Gras” dan menjadi foto pertama yang pernah ada di dunia.
Kalau nama Niepce tercatat sebagai fotografer pertama yang mengabadikan sebuah gambar, Louis J.M. Daguerre adalah orang yang pertama kali membuat foto yang di dalamnya terdapat sosok manusia. Pada foto yang diambil dari jarak jauh di tahun 1839 itu, tampak seseorang lelaki sedang berdiri dan mengangkat salah satu kaki saat sepatunya sedang dibersihkan oleh orang lain di pinggir sebuah jalan raya. Daguerre dinobatkan sebagai orang pertama yang berhasil membuat gambar permanen pada lembaran plat tembaga perak yang dilapisi larutan iodin, lalu disinari selama satu setengah jam dengan pemanas mercuri (neon). Proses ini disebut “daguerreotype”. Untuk membuat gambar permanen, pelat itu dicuci dengan larutan garam dapur dan air suling.

Percobaan-demi percobaan terus berlanjut, sampai akhirnya William Henry Talbott dari Inggris pada 25 Januari 1839 memperkenalkan “lukisan fotografi” yang juga menggunakan kamera obscura, tapi ia membuat foto positifnya pada sehelai kertas chlorida perak. Kemudian, pada tahun yang sama Talbot menemukan cikal bakal film negatif modern yang terbuat dari lembar kertas beremulsi, yang bisa digunakan untuk mencetak foto dengan cara “contact print”. Teknik ini juga bisa digunakan untuk cetak ulang layaknya film negatif modern. Proses ini disebut Calotype yang kemudian dikembangkan menjadi Talbotypes. Untuk menghasilkan gambar positif, Talbot menggunakan proses Saltprint. Gambar dengan film negatif pertama yang dibuat Talbot pada Agustus 1835 adalah pemandangan pintu perpustakaan di rumahnya di Hacock Abbey, Wiltshire, Inggris.

Penemuan-penemuan teknologi pun semakin bermunculan seiring dengan masuknya fotografi ke dunia jurnalistik. Tapi, lantaran orang-orang jurnalistik belum bisa memasukkan foto ke dalam proses cetak, mereka menyalin foto yang ada dengan menggambarnya memakai tangan. Surat kabar pertama yang memuat gambar dengan teknik ini adalah The Daily Graphic, yakni pada 16 April 1877. Gambar berita pertama dalam surat kabar itu adalah sebuah peristiwa kebakaran.

Kemudian, ditemukanlah proses cetak “half tone” pada tahun 1880 yang memungkinkan foto dimasukkan ke dalam surat kabar. Foto paling pertama yang ada di surat kabar adalah foto tambang pengeboran minyak Shantytown yang muncul di surat kabar “New York Daily Graphic” di Amerika Serikat pada tanggal 4 Maret 1880. Foto itu adalah karya Henry J Newton.

Fotografi kemudian berkembang dengan sangat cepat. Menurut Szarkowski dalam Hartoyo (2004: 22), arsitek utama dunia fotografi modern adalah seorang pengusaha bernama George Eastman. Melalui perusahaannya yang bernama Kodak Eastman, George Eastman mengembangkan fotografi dengan menciptakan serta menjual roll film dan kamera boks yang praktis. Saat itu, dunia fotografi sudah mengenal perbaikan lensa, shutter, film, dan kertas foto. Penemuan-penemuan tersebut telah mempermudah orang mengabadikan benda-benda yang berada di depan lensa dan mereproduksinya. Dengan demikian, para fotografer, baik amatir maupun profesional, bisa menghasilkan suatu karya seni tinggi tanpa terhalang oleh keterbatasan teknologi.

Pada Tahun 1900 seorang juru gambar telah menciptakan kamera Mammoth. Ukuran kamera ini amat besar. Beratnya 1,400 pon, sedangkan lensanya memiliki berat 500 pon. Untuk mengoperasikan atau memindahkannya, sang fotografer membutuhkan bantuan 15 orang. Kamera ini menggunakan film sebesar 4,5 x 8 kaki dan membutuhkan bahan kimia sebanyak 10 galon ketika memprosesnya.


Orang paling pertama yang ada di foto sejak kamera dibuat.

Lalu, pada tahun 1950, pemakaian prisma untuk memudahkan pembidikan pada kamera Single Lens Reflex (SLR) mulai ramai. Dan di tahun yang sama, Jepang mulai memasuki dunia fotografi dengan memproduksi kamera NIKON. Di tahun 1972, kamera Polaroid yang ditemukan oleh Edwin Land mulai dipasarkan. Kamera Polaroid ini mampu menghasilkan gambar tanpa melalui proses pengembangan dan pencetakan film.

Kemajuan teknologi turut memacu fotografi dengan sangat cepat. Kalau dulu kamera sebesar tenda hanya bisa menghasilkan gambar yang tidak terlalu tajam, kini kamera digital yang cuma sebesar dompet mampu membuat foto yang sangat tajam dalam ukuran sebesar koran.

Sejarah Fotografi di Indonesia

Perkembangan fotografi di Indonesia selalu berkaitan dan mengalir bersama momentum sosial-politik perjalanan bangsa ini, mulai dari momentum perubahan kebijakan politik kolonial, revolusi kemerdekaan, ledakan ekonomi di awal 1980-an, sampai Reformasi 1998.

Pada tahun 1841, seorang pegawai kesehatan Belanda bernama Juriaan Munich mendapat perintah dari Kementerian Kolonial untuk mendarat di Batavia dengan membawa dauguerreotype. Munich diberi tugas mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia sebagai cara untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam. Sejak saat itu, kamera menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai Pemerintah Belanda untuk menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan atau penempatan pasukan dan meriam, melainkan dengan cara menguasai teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini, fotografi menjalankan fungsinya lewat pekerja administratif kolonial, pegawai pengadilan, opsir militer, dan misionaris. 

Latar itulah yang menjelaskan mengapa selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941) penguasaan alat ini secara eksklusif ada di tangan orang Eropa, sedikit orang Cina, dan Jepang. Berdasarkan survei dan hasil riset di studio foto-foto komersial di Hindia Belanda tentang foto-foto yang ada sejak tahun 1850 hingga 1940, dari 540 studio foto di 75 kota besar dan kecil, terdapat 315 nama orang Eropa, 186 orang Cina, 45 orang Jepang, dan hanya empat orang lokal Indonesia, salah satunya adalah Kasian Cephas.

Kasian Cephas adalah warga lokal asli. Ia dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1844 di Yogyakarta. Cephas sebenarnya adalah asli pribumi yang kemudian diangkat sebagai anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta philipina Kreeft, lalu disekolahkan ke Belanda. Cephas-lah yang pertama kali mengenalkan dunia fotografi ke Indonesia. Meski demikian, literatur-literatur sejarah Indonesia sangat jarang menyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai fotografer profesional. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875.

Dibutuhkan waktu hampir seratus tahun bagi bangsa ini untuk benar-benar mengenal dunia fotografi. Masuknya Jepang pada tahun 1942 telah menciptakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menyerap teknologi ini. Demi kebutuhan propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk bekerja di kantor berita mereka, Domei. Pada saat itulah muncul nama Mendur Bersaudara. Merekalah yang membentuk imaji baru tentang bangsa Indonesia.

Lewat fotografi, Mendur bersaudara berusaha menggiring mental bangsa ini menjadi bermental sama tinggi dan sederajat. Frans Mendur bersama kakaknya, Alex Mendur, juga menjadi icon bagi dunia fotografer nasional. Mereka kerap merekam peristiwa-peristiwa penting bagi negeri ini, salah satunya adalah mengabadikan detik-detik pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Inilah momentum ketika fotografi benar-benar "sampai" ke Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dan orang Indonesia mulai merepresentasikan dirinya sendiri.


 
Refrensi :  Pusat perfileman usmar ismail

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog. Copyrights 2011.