Fine Art,
adalah Seni Murni, yang datang dari: Fotografi, atau, Seni ini (yang
dibicarakan) adalah ‘sebuah: subyek’ yang muncul dari dalam Fotografi
itu sendiri. Dan sesuai dengan urutan penyebutan bahasanya, saya lebih
menegaskan kepada pemakaian kata: ‘Fotografi’ terlebih dulu, dan
kemudian kata ‘Seni’ akan mengikutinya. Dan saya akan menuliskannya:
‘Fotografi Seni’ (Photographic Art), terlebih dulu -lengkap,
tanpa harus menguranginya menjadi: ‘Foto Seni’, karena pada beberapa
pemahamannya, akan berbeda, antara Fotografi dan Foto itu sendiri,
-walau dipergunakan untuk pengertian yang saling mewakili. Penulisan
menjadi: Foto Seni, akan menjadi peringkat kedua dalam penggunaannya,
-untuk pemahaman yang sudah melampaui definisi fotografi itu sendiri. Fine Art (of) Photography,
merupakan pencapaian ‘Realitas Murni’ yang obyektif. Bahkan,
ke-obyektifitas-an dalam fotografi dari awal kelahirannnya, hanya
dipahami secara obyektifitas dari keteknisan proyeksinya saja.
Pemakaian kata ‘Foto’, pada dasarnya lebih identik dengan: hasil fotografi (photograph)
-dalam kajian bahasa Indonesia, sedangkan Fotografi, adalah keilmuan
dan studi secara keseluruhan. Fotografi merupakan keilmuan teknis
proyeksi optik yang sangat ketat. Sejak dari awal dan dasar dari
penemuan Fotografi, bahkan tidak mengenal dengan apa yang disebut: Seni.
Apalagi ketika dikaitkan dengan apa yang didefinisikan sebagai Seni
Rupa. Itu terjadi setelahnya dan nanti, ketika kita menguasai dasar
fotografinya terlebih dulu, dan jangan coba-coba mencari jalan
pintasnya, karena penggalan sistem dalam fotografi akan banyak yang
hilang dan menjadi kabur.
Fotografi, identik dengan teknologi yang terkait dengan optik dan energi, -sesuatu yang nyata dan ke-benda-an (dalam konsepsi: visible light).
Namun, dalam proses perkembangan dan hasil visualnya, fotografi
mempunyai pengaruh yang luar biasa, mencakup hal eksistensi kepada
hasilnya. Ketika pada tahap ini, yang kemudian dibicarakan adalah
tentang subyektifitas apresiasi di banyak arah dan komunikasi (Vision).
Fotografi adalah teknis pencapain visual (yang obyektif) dan proyeksi
selanjutnya akan meliputi ke-subyektif-an visual itu sendiri. Dalam
rumus matematika-fisika, proyeksi fotografi akan mencapai kepada satu
titik pembahasan tentang ‘energi’ dari ‘invible light‘. Rumus berkesinambungan bolak-balik, dari visible light hingga kepada invisible light (electromagnetic). Apresiasi atau pun Ekpresi, adalah energi dari invisible light itu sendiri.
Bila Fotografi adalah Fotografi, definisi keilmuannya lebih lanjut akan lebih mudah dipahami. Bahkan ‘penambahan’ kata ‘Art‘ atau ‘Fine Art‘
juga tidak terlalu banyak dibicarakan, karena disitu sudah berisi akan
‘kepentingan’ – yang lain. Fotografi adalah visual dari rumus energi dan
optik, dan hal yang jarang dibicarakan adalah: energi verbal (teori: Vision). Verbal adalah proyeksi energi visi dalam perhitungan ‘cahaya hitam’ (invisibe light), dan Visual adalah proyeksi energi optik dari ‘cahaya putih’ (visible light). (Lihat dalam penulisan sebelumnya)
Bila berbicara ‘seni’ dalam definisi ‘fine-art‘
di fotografi, mungkin sejuta apresiasi bisa dimunculkan, secara
subyektif, dan tidak akan pernah selesai. Namun, bila dikaji bahwa fine-art
dalam fotografi adalah ‘seni’, yang muncul dari dalam (isi), dan dasar
dari hasil fotografi secara obyektif, akan lebih mudah dipahami. Bahkan
seni yang muncul dari dalam fotografi, tidaklah rumit. Seni dalam
fotografi sangat terukur dan bisa didefinisikan. Tidak ada yang perlu
‘disembunyikan’, namun keunikan isi dalam fotografi menjadi sebuah
‘teka-teki’ yang harus dimunculkan dan diulas lebih dalam. Apresiasi dan
Ekspresi menjadi urutan kedua, ketiga, dan seterusnya, bahkan menjadi
tidak penting pada proses awal. Apresiasi dan Ekspresi, yang subyektif,
tidak muncul dari luar isi dan hasil fotografi itu sendiri, karena
fotografi adalah studi dan hasil yang realitis dalam teknis yang ketat.
“Apa
yang dilihat dan apa yang akan dihasilkan” -dalam sebuah proses
fotografi, ini adalah benar-benar definisi kunci. Bahkan, kita bisa
membuat banyak definisi lanjutan tanpa harus ‘meminjam’ definisi kata
seni yang lain (yang sudah terlebih dulu eksis). Demikian juga nantinya,
fotografi akan mempunyai semakin banyak definisi seni miliknya sendiri.
Fotografi berbicara tentang realitas yang terjadi, dan kemudian
terproyeksi secara alami, hingga mampu mengeluarkan
ke-obyektifitas-annya sendiri, bahkan lebih kuat dari realitas itu
sendiri, inilah yang akan mempengaruhi visi kita. Bahkan bisa saja
terjadi, kuatnya realitas fotografi, bisa hingga lebih kuat dari
realitasnya sendiri, menjadi sesuatu yang seakan tidak bisa dijelaskan
dan diartikan, -ini yang rancu dan keliru. Fotografi terletak dalam
wadah realitas, bukan wadah imajinatif.
Lebih gamblang lagi, yang dimaksud ‘fine art‘
dalam fotografi tersebut, sebaiknya jangan didefinisikan sebagai Seni
Rupa (Seni Lukis), namun, pemahamannya lebih tepat kepada: Seni Murni
(Orisinalitas yang muncul dari: Fotografi) -saja, yang berarti
membicarakan kemurnian dan ke-orisinalitas-an dari keilmuan fotografi
itu sendiri. Namun, hingga kini, pemakaian ‘fine art photography‘ dalam kajian ‘imbas’ seni rupa masih dipergunakan. Mungkin masih available, namun perlu dipahami saja bahwa definisinya tidak sama bila Fotografi Seni, diterjemahkan dalam definis keilmuan Seni Rupa. Fine Art
dalam fotografi, berarti dasar pencapaian kemurnian akan penguasaan
teknis, dan kemudian mendefinisikan serta menyampaikannya secara detil,
tentang apa yang ada dalam isi hasil fotografi tersebut.
Realitas
Murni (Photography) tersebut, adalah proyeksi visual optik, merupakan
definisi dari ‘cara melihat’, sedangkan proyeksi selanjutnya adalah
terletak pada pemahaman ‘cara memandang’ yang didefiniskan sebagai
Realitas Alternatif. Dan ‘keterlibatan’ atas Ekspresi, Apresiasi, dan
Interpretasi, merupakan imbas dari proyeksi Realitas Murni. Kedua faktor
berkesinambungan tersebut, adalah rangkaian proyeksi yang normal, dan
wajar. Tugas seorang seniman fotografi (fotografer) harus mampu membuat
‘benteng’ definisinya sendiri, bagaimana membuat hasil karyanya tetap
berada dalam wilayah fotografi murni, yang tidak keluar dari jalur
keilmuan, tidak menambahkan elemen lain selain faktor cahaya,
melebih-lebihkan teknis, dan membuat manipulasinya, dengan faktor dan
aspek diluar keilmuan dasar proyeksi dari fotografi.
Pada satu titik pembicaraan yang jarang ditampilkan terbuka adalah: Statement
atau penyampaian maksud, dari fotografer / seniman fotografi atas
karyanya sendiri. Mereka jarang mengemukakan ide, maksud, dan tujuannya
atas karya fotografinya sendiri. Hal sederhana yang seharusnya dilakukan
adalah menuliskannya, lewat judul, isi besar, atau deskripsinya. Tanpa
adanya statement fotografi tersebut, hasilnya bisa menimbulkan
‘depresi ekspresif’ / ‘depresi apresiatif’ kepada dirinya sendiri atau
orang lain, sehingga bisa keliru penafsirannya. Penyampaian statement
itu termasuk bisa juga mempergunakan media: Suara / Sound.
0 komentar:
Posting Komentar