Senin, 06 Mei 2013

FINE ART OF PHOTOGRAPHY = PHOTOGRAPHIC ART = PHOTO ART = FOTO SENI

Fine Art, adalah Seni Murni, yang datang dari: Fotografi, atau, Seni ini (yang dibicarakan) adalah ‘sebuah: subyek’ yang muncul dari dalam Fotografi itu sendiri. Dan sesuai dengan urutan penyebutan bahasanya, saya lebih menegaskan kepada pemakaian kata: ‘Fotografi’ terlebih dulu, dan kemudian kata ‘Seni’ akan mengikutinya. Dan saya akan menuliskannya: ‘Fotografi Seni’ (Photographic Art), terlebih dulu -lengkap, tanpa harus menguranginya menjadi: ‘Foto Seni’, karena pada beberapa pemahamannya, akan berbeda, antara Fotografi dan Foto itu sendiri, -walau dipergunakan untuk pengertian yang saling mewakili. Penulisan menjadi: Foto Seni, akan menjadi peringkat kedua dalam penggunaannya, -untuk pemahaman yang sudah melampaui definisi fotografi itu sendiri. Fine Art (of) Photography, merupakan pencapaian ‘Realitas Murni’ yang obyektif. Bahkan, ke-obyektifitas-an dalam fotografi dari awal kelahirannnya, hanya dipahami secara obyektifitas dari keteknisan proyeksinya saja.
Metamorphotons
Metamorphotons
Pemakaian kata ‘Foto’, pada dasarnya lebih identik dengan: hasil fotografi (photograph) -dalam kajian bahasa Indonesia, sedangkan Fotografi, adalah keilmuan dan studi secara keseluruhan. Fotografi merupakan keilmuan teknis proyeksi optik yang sangat ketat. Sejak dari awal dan dasar dari penemuan Fotografi, bahkan tidak mengenal dengan apa yang disebut: Seni. Apalagi ketika dikaitkan dengan apa yang didefinisikan sebagai Seni Rupa. Itu terjadi setelahnya dan nanti, ketika kita menguasai dasar fotografinya terlebih dulu, dan jangan coba-coba mencari jalan pintasnya, karena penggalan sistem dalam fotografi akan banyak yang hilang dan menjadi kabur. 
Fotografi, identik dengan teknologi yang terkait dengan optik dan energi, -sesuatu yang nyata dan ke-benda-an (dalam konsepsi: visible light). Namun, dalam proses perkembangan dan hasil visualnya, fotografi mempunyai pengaruh yang luar biasa, mencakup hal eksistensi kepada hasilnya. Ketika pada tahap ini, yang kemudian dibicarakan adalah tentang subyektifitas apresiasi di banyak arah dan komunikasi (Vision). Fotografi adalah teknis pencapain visual (yang obyektif) dan proyeksi selanjutnya akan meliputi ke-subyektif-an visual itu sendiri. Dalam rumus matematika-fisika, proyeksi fotografi akan mencapai kepada satu titik pembahasan tentang ‘energi’ dari ‘invible light‘. Rumus berkesinambungan bolak-balik, dari visible light hingga kepada invisible light (electromagnetic). Apresiasi atau pun Ekpresi, adalah energi dari invisible light itu sendiri. 
Bila Fotografi adalah Fotografi, definisi keilmuannya lebih lanjut akan lebih mudah dipahami. Bahkan ‘penambahan’ kata ‘Art‘ atau ‘Fine Art‘ juga tidak terlalu banyak dibicarakan, karena disitu sudah berisi akan ‘kepentingan’ – yang lain. Fotografi adalah visual dari rumus energi dan optik, dan hal yang jarang dibicarakan adalah: energi verbal (teori: Vision). Verbal adalah proyeksi energi visi dalam perhitungan ‘cahaya hitam’ (invisibe light), dan Visual adalah proyeksi energi optik dari ‘cahaya putih’ (visible light). (Lihat dalam penulisan sebelumnya)
Bila berbicara ‘seni’ dalam definisi ‘fine-art‘ di fotografi, mungkin sejuta apresiasi bisa dimunculkan, secara subyektif, dan tidak akan pernah selesai. Namun, bila dikaji bahwa fine-art dalam fotografi adalah ‘seni’, yang muncul dari dalam (isi), dan dasar dari hasil fotografi secara obyektif, akan lebih mudah dipahami. Bahkan seni yang muncul dari dalam fotografi, tidaklah rumit. Seni dalam fotografi sangat terukur dan bisa didefinisikan. Tidak ada yang perlu ‘disembunyikan’, namun keunikan isi dalam fotografi menjadi sebuah ‘teka-teki’ yang harus dimunculkan dan diulas lebih dalam. Apresiasi dan Ekspresi menjadi urutan kedua, ketiga, dan seterusnya, bahkan menjadi tidak penting pada proses awal. Apresiasi dan Ekspresi, yang subyektif, tidak muncul dari luar isi dan hasil fotografi itu sendiri, karena fotografi adalah studi dan hasil yang realitis dalam teknis yang ketat. 
Apa yang dilihat dan apa yang akan dihasilkan” -dalam sebuah proses fotografi, ini adalah benar-benar definisi kunci. Bahkan, kita bisa membuat banyak definisi lanjutan tanpa harus ‘meminjam’ definisi kata seni yang lain (yang sudah terlebih dulu eksis). Demikian juga nantinya, fotografi akan mempunyai semakin banyak definisi seni miliknya sendiri. Fotografi berbicara tentang realitas yang terjadi, dan kemudian terproyeksi secara alami, hingga mampu mengeluarkan ke-obyektifitas-annya sendiri, bahkan lebih kuat dari realitas itu sendiri, inilah yang akan mempengaruhi visi kita. Bahkan bisa saja terjadi, kuatnya realitas fotografi, bisa hingga lebih kuat dari realitasnya sendiri, menjadi sesuatu yang seakan tidak bisa dijelaskan dan diartikan, -ini yang rancu dan keliru. Fotografi terletak dalam wadah realitas, bukan wadah imajinatif.
Stranger Unpredictable
Stranger Unpredictable
Lebih gamblang lagi, yang dimaksud ‘fine art‘ dalam fotografi tersebut, sebaiknya jangan didefinisikan sebagai Seni Rupa (Seni Lukis), namun, pemahamannya lebih tepat kepada: Seni Murni (Orisinalitas yang muncul dari: Fotografi) -saja, yang berarti membicarakan kemurnian dan ke-orisinalitas-an dari keilmuan fotografi itu sendiri. Namun, hingga kini, pemakaian ‘fine art photography‘ dalam kajian ‘imbas’ seni rupa masih dipergunakan. Mungkin masih available, namun perlu dipahami saja bahwa definisinya tidak sama bila Fotografi Seni, diterjemahkan dalam definis keilmuan Seni Rupa. Fine Art dalam fotografi, berarti dasar pencapaian kemurnian akan penguasaan teknis, dan kemudian mendefinisikan serta menyampaikannya secara detil, tentang apa yang ada dalam isi hasil fotografi tersebut. 
Realitas Murni (Photography) tersebut, adalah proyeksi visual optik, merupakan definisi dari ‘cara melihat’, sedangkan proyeksi selanjutnya adalah terletak pada pemahaman ‘cara memandang’ yang didefiniskan sebagai Realitas Alternatif. Dan ‘keterlibatan’ atas Ekspresi, Apresiasi, dan Interpretasi, merupakan imbas dari proyeksi Realitas Murni. Kedua faktor berkesinambungan tersebut, adalah rangkaian proyeksi yang normal, dan wajar. Tugas seorang seniman fotografi (fotografer) harus mampu membuat ‘benteng’ definisinya sendiri, bagaimana membuat hasil karyanya tetap berada dalam wilayah fotografi murni, yang tidak keluar dari jalur keilmuan, tidak menambahkan elemen lain selain faktor cahaya, melebih-lebihkan teknis, dan membuat manipulasinya, dengan faktor dan aspek diluar keilmuan dasar proyeksi dari fotografi.
Pada satu titik pembicaraan yang jarang ditampilkan terbuka adalah: Statement atau penyampaian maksud, dari fotografer / seniman fotografi atas karyanya sendiri. Mereka jarang mengemukakan ide, maksud, dan tujuannya atas karya fotografinya sendiri. Hal sederhana yang seharusnya dilakukan adalah menuliskannya, lewat judul, isi besar, atau deskripsinya. Tanpa adanya statement fotografi tersebut, hasilnya bisa menimbulkan ‘depresi ekspresif’ / ‘depresi apresiatif’ kepada dirinya sendiri atau orang lain, sehingga bisa keliru penafsirannya. Penyampaian statement itu termasuk bisa juga mempergunakan media: Suara / Sound.

Realitas dalam fotografi, sangatlah kompleks. Realitas tersebut sangat terkait dengan energi proyeksi cahaya (photon), yang meliputi 3 elemen besar, yakni: mata >< otak >< alat perekaman, yang saling terkait berkesinambungan. Dan dengan fotografi, semua itu sangat mudah didefinisikan bila kita menyempatkan diri untuk memperdalamnya dengan lebih detil. Dan ketika semua itu sudah bisa didefiniskan dengan lebih detil, maka saya sudah bisa menyebutkan ‘Fine Art of Photography‘ itu adalah Seni-nya Fotografi sendiri, dan dituliskan dengan: ‘Photographic Art‘ atau ‘Photo Art‘ atau Fotografi Seni – Foto Seni. Ketika sampai pada penyebutan dengan ‘Foto Seni’ ini, saya bukan hanya membicarakan ‘hasil’ yang tercetak atau ditampilkan saja, namun keseluruhan imbas dan keilmuannya, baik secara Interpretasi, Apresiasi, maupun Ekspresi di dalamnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog. Copyrights 2011.