Selasa, 07 Mei 2013

Risman Marah: Pelopor Fotografi Buta di Indonesia


Kompas | Inki Rinaldi | Kamis, 18 November 2010


KOMPAS/INGKI RINALDI
Risman Marah
Risman Marah mulai memotret sejak 1972. Kegelisahan dan kebosanan pada teknik fotografi membuat dia bereksperimen dengan fotografi buta yang melibatkan penyandang tunanetra guna memotret obyek-obyek yang biasa diabadikan oleh orang-orang dengan penglihatan.
”Saya sudah jenuh. Saya memotret sejak 1972,” kata H Surisman Marah M Sn saat ditemui di sela-sela reuni akbar alumni Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) atau Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) yang kini berganti nama menjadi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Kota Padang di Padang, Sumatera Barat, akhir September lalu.
Kejenuhan itu mencapai titik kulminasi karena ia merasa tak ada lagi yang ingin dicapainya dalam dunia fotografi. Berbagai penghargaan yang sudah digenggamnya semakin mempertegas kegelisahan itu.
Apalagi ia sesungguhnya adalah seorang pelukis. Kenyataan yang semakin membuat dia ingin mendobrak pakem ilmu fotografi dan menuangkannya menjadi karya yang bebas, ekspresif, bahkan abstrak.
Maka, sejumlah penyandang tunanetra pun diajaknya memotret berbagai obyek. Khusus untuk itu, Risman memilih penyandang tunanetra sejak lahir. ”Sebab, mereka yang pernah melihat sudah tahu garis horizon sehingga saat diminta memotret, akan langsung mencari sumber suara dan memperkirakan komposisinya,” kata Risman sembari memeragakan orang memegang kamera.
Mulai merencanakan konsep itu sejak 2006, Risman mewujudkan gagasannya pada 2008 dengan mengajak tiga penyandang tunanetra yang masing-masing dibekalinya kamera Nikon DSLR. Dengan bukaan diafragma tinggi dan kecepatan rana otomatis, foto-foto yang dihasilkan dari obyek di kawasan pantai, candi, dan pepohonan di kawasan pegunungan memiliki nuansa yang tak biasa.
Dari sekitar 1.700 karya yang dihasilkan, 20 karya foto di antaranya dipamerkan di Yogyakarta pada 15 Agustus 2008. ”Saya kan basisnya pelukis, jadi mengapa tak mencari hal-hal yang keluar dari pakem fotografi,” katanya.
Risman adalah pendobrak kreativitas dunia fotografi Indonesia dengan teknik fotografi buta yang diciptakannya. Namun, di dunia internasional, berdasarkan catatan Kompas, Anja Ligtenberg, fotografer profesional yang sempat bermukim di New York, Amerika Serikat, juga melakukan hal serupa dengan proyek bernama Seeing The Unseen yang lalu dijalankan pula oleh Skyway Foundation pada 2004-2006.
Belajar ke Yogyakarta
Selulus dari SSRI/SMSR pada 1970, Risman merantau ke Yogyakarta. Saat itu bisa dikatakan belum ada mahasiswa asal Sumatera Barat yang belajar ke Institut Seni Indonesia (ISI Yogyakarta) sehingga sebutan sebagai ”pembabat alas” tak bisa dilepaskan darinya.
Setelah itu, setiap calon mahasiswa asal Sumbar yang hendak belajar ke ISI Yogyakarta hampir bisa dipastikan menemui Risman terlebih dahulu. ”Kadang, kalau saya sedang pulang ke Bukittinggi, beberapa di antara calon mahasiswa itu menemui saya,” katanya.
Kini banyak alumnus ISI Yogyakarta asal Sumbar yang sebelumnya juga bersekolah di SSRI/SMSR, seperti pelukis pembaru kaligrafi Syaiful Adnan, pematung Yusman, dan pelukis kontemporer Stefan Buana.
Menurut Risman, melanjutkan kuliah ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ”ASRI” Yogyakarta (kini ISI Yogyakarta), bagi murid SSRI/SMSR Padang pada masa itu, merupakan impian yang seakan terpatri sejak dini. Pada masa itu, di dinding kelas dipajang karya-karya yang menginspirasi siswa untuk melanjutkan belajar ke Yogyakarta.
Gegar budaya
Masa awal tinggal di Yogyakarta, gegar budaya menjadi masalah serius yang mesti dia geluti. Penderitaan itu termasuk perbedaan masakan dan kendala dalam berbahasa. Namun, yang paling terasa bagi Risman adalah penilaian atas hasil karya-karyanya yang—dalam ingatannya—dilakukan dengan ”kejam”. ”Padahal, (karya) saya di Sumbar sebelumnya dielu-elukan orang,” kata Risman berseloroh.
Namun, begitu memasuki atmosfer berkesenian di Yogya, karya Risman rupanya belum ”dianggap”. Pada masa itu, ceritanya, karya lukisan yang dinilai buruk akan ditelungkupkan kertasnya atau dibalik sehingga mustahil bagi orang lain untuk melihat.
Belajar dari pengalaman, dia lalu mengurangi waktu tidur dan mulai berkelana bersama teman-temannya untuk membuat sketsa di kawasan Malioboro. ”’Apelnya’ pukul 19.00-20.00 di sekitar Tugu, setelah itu kami terus berjalan ke arah Malioboro untuk membikin sketsa,” kata kakek tiga cucu ini.
Keuletan serta keluwesan Risman dalam bergaul membuatnya cepat diterima. ”Syarat bisa cepat membaur, cepat dapat ilmu, serta berkembang adalah jangan tinggal satu asrama dengan teman-teman sedaerah asal,” katanya.
Keteguhan Risman membuahkan hasil. Pada bulan ketiga di Yogya, ia berhasil masuk 10 besar. Satu bulan berikutnya, karya-karya dia sudah dinilai sebagai lima besar terbaik. Jadilah semester perdana itu dia berhasil memperoleh indeks prestasi tertinggi.
Lulus sarjana muda dari STSR ASRI, dia sesungguhnya diharapkan kembali ke Padang untuk mengajar di SSRI. Namun, pihak STSR ASRI menawarinya mengajar dan meneruskan kuliah hingga mencapai gelar sarjana.
Risman merasa mantap tinggal di Yogya, apalagi setelah menikahi putri pelukis Widayat, Diyah Widiyanti Widayat, pada 1976. Kariernya sebagai dosen yang diimbangi beragam pencapaian di bidang fotografi perlahan merangkak.
Ia juga dipercaya menjadi salah satu pendiri Fakultas Seni Media Rekam (Multimedia) ISI Yogya dengan jurusan fotografi dan televisi pada 1994. Namun, semua pencapaian itu tetap membuat Risman gusar dengan dunia pendidikan seni menengah di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog. Copyrights 2011.