Kompas
| Inki Rinaldi | Kamis, 18 November 2010
KOMPAS/INGKI
RINALDI
Risman Marah
Risman Marah
mulai memotret sejak 1972. Kegelisahan dan kebosanan pada teknik fotografi
membuat dia bereksperimen dengan fotografi buta yang melibatkan penyandang
tunanetra guna memotret obyek-obyek yang biasa diabadikan oleh orang-orang
dengan penglihatan.
”Saya sudah
jenuh. Saya memotret sejak 1972,” kata H Surisman Marah M Sn saat ditemui di
sela-sela reuni akbar alumni Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) atau Sekolah
Menengah Seni Rupa (SMSR) yang kini berganti nama menjadi Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri 4 Kota Padang di Padang, Sumatera Barat, akhir September lalu.
Kejenuhan itu
mencapai titik kulminasi karena ia merasa tak ada lagi yang ingin dicapainya
dalam dunia fotografi. Berbagai penghargaan yang sudah digenggamnya semakin
mempertegas kegelisahan itu.
Apalagi ia
sesungguhnya adalah seorang pelukis. Kenyataan yang semakin membuat dia ingin
mendobrak pakem ilmu fotografi dan menuangkannya menjadi karya yang bebas,
ekspresif, bahkan abstrak.
Maka, sejumlah
penyandang tunanetra pun diajaknya memotret berbagai obyek. Khusus untuk itu,
Risman memilih penyandang tunanetra sejak lahir. ”Sebab, mereka yang pernah
melihat sudah tahu garis horizon sehingga saat diminta memotret, akan langsung
mencari sumber suara dan memperkirakan komposisinya,” kata Risman sembari
memeragakan orang memegang kamera.
Mulai
merencanakan konsep itu sejak 2006, Risman mewujudkan gagasannya pada 2008
dengan mengajak tiga penyandang tunanetra yang masing-masing dibekalinya kamera
Nikon DSLR. Dengan bukaan diafragma tinggi dan kecepatan rana otomatis,
foto-foto yang dihasilkan dari obyek di kawasan pantai, candi, dan pepohonan di
kawasan pegunungan memiliki nuansa yang tak biasa.
Dari sekitar
1.700 karya yang dihasilkan, 20 karya foto di antaranya dipamerkan di
Yogyakarta pada 15 Agustus 2008. ”Saya kan basisnya pelukis, jadi mengapa tak
mencari hal-hal yang keluar dari pakem fotografi,” katanya.
Risman adalah
pendobrak kreativitas dunia fotografi Indonesia dengan teknik fotografi buta
yang diciptakannya. Namun, di dunia internasional, berdasarkan catatan Kompas,
Anja Ligtenberg, fotografer profesional yang sempat bermukim di New York,
Amerika Serikat, juga melakukan hal serupa dengan proyek bernama Seeing The
Unseen yang lalu dijalankan pula oleh Skyway Foundation pada 2004-2006.
Belajar ke
Yogyakarta
Selulus dari
SSRI/SMSR pada 1970, Risman merantau ke Yogyakarta. Saat itu bisa dikatakan
belum ada mahasiswa asal Sumatera Barat yang belajar ke Institut Seni Indonesia
(ISI Yogyakarta) sehingga sebutan sebagai ”pembabat alas” tak bisa dilepaskan
darinya.
Setelah itu,
setiap calon mahasiswa asal Sumbar yang hendak belajar ke ISI Yogyakarta hampir
bisa dipastikan menemui Risman terlebih dahulu. ”Kadang, kalau saya sedang
pulang ke Bukittinggi, beberapa di antara calon mahasiswa itu menemui saya,”
katanya.
Kini banyak
alumnus ISI Yogyakarta asal Sumbar yang sebelumnya juga bersekolah di
SSRI/SMSR, seperti pelukis pembaru kaligrafi Syaiful Adnan, pematung Yusman,
dan pelukis kontemporer Stefan Buana.
Menurut Risman,
melanjutkan kuliah ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ”ASRI” Yogyakarta
(kini ISI Yogyakarta), bagi murid SSRI/SMSR Padang pada masa itu, merupakan
impian yang seakan terpatri sejak dini. Pada masa itu, di dinding kelas
dipajang karya-karya yang menginspirasi siswa untuk melanjutkan belajar ke
Yogyakarta.
Gegar budaya
Masa awal
tinggal di Yogyakarta, gegar budaya menjadi masalah serius yang mesti dia
geluti. Penderitaan itu termasuk perbedaan masakan dan kendala dalam berbahasa.
Namun, yang paling terasa bagi Risman adalah penilaian atas hasil
karya-karyanya yang—dalam ingatannya—dilakukan dengan ”kejam”. ”Padahal,
(karya) saya di Sumbar sebelumnya dielu-elukan orang,” kata Risman berseloroh.
Namun, begitu
memasuki atmosfer berkesenian di Yogya, karya Risman rupanya belum ”dianggap”.
Pada masa itu, ceritanya, karya lukisan yang dinilai buruk akan ditelungkupkan
kertasnya atau dibalik sehingga mustahil bagi orang lain untuk melihat.
Belajar dari
pengalaman, dia lalu mengurangi waktu tidur dan mulai berkelana bersama
teman-temannya untuk membuat sketsa di kawasan Malioboro. ”’Apelnya’ pukul
19.00-20.00 di sekitar Tugu, setelah itu kami terus berjalan ke arah Malioboro
untuk membikin sketsa,” kata kakek tiga cucu ini.
Keuletan serta
keluwesan Risman dalam bergaul membuatnya cepat diterima. ”Syarat bisa cepat
membaur, cepat dapat ilmu, serta berkembang adalah jangan tinggal satu asrama
dengan teman-teman sedaerah asal,” katanya.
Keteguhan Risman
membuahkan hasil. Pada bulan ketiga di Yogya, ia berhasil masuk 10 besar. Satu
bulan berikutnya, karya-karya dia sudah dinilai sebagai lima besar terbaik.
Jadilah semester perdana itu dia berhasil memperoleh indeks prestasi tertinggi.
Lulus sarjana
muda dari STSR ASRI, dia sesungguhnya diharapkan kembali ke Padang untuk
mengajar di SSRI. Namun, pihak STSR ASRI menawarinya mengajar dan meneruskan
kuliah hingga mencapai gelar sarjana.
Risman merasa
mantap tinggal di Yogya, apalagi setelah menikahi putri pelukis Widayat, Diyah
Widiyanti Widayat, pada 1976. Kariernya sebagai dosen yang diimbangi beragam
pencapaian di bidang fotografi perlahan merangkak.
Ia juga
dipercaya menjadi salah satu pendiri Fakultas Seni Media Rekam (Multimedia) ISI
Yogya dengan jurusan fotografi dan televisi pada 1994. Namun, semua pencapaian
itu tetap membuat Risman gusar dengan dunia pendidikan seni menengah di
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar